Sebagaimana yang telah penulis sebutkan dalam dua artikel terakhir, eksistensi manusia dan jin di dunia ini hanyalah untuk beribadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Hal ini telah Allah jelaskan dalam Al Qur’an, yang mana Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ (56) مَا أُرِيدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَنْ يُطْعِمُونِ (57) إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ

“dan tidaklah aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki agar mereka memberi makan kepada-Ku. Sungguh Allah, Dialah Pemberi rezeki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.” (QS. Adz Dzariyaat: 56-58)

Ibadah sendiri (yang mencakup perintah dan larangan), tidak akan bisa terlepas dari lima hukum taklif yang telah penulis bahas sebelumnya. Pada kesempatan kali ini, penulis tidak akan membahas hukum suatu ibadah satu persatu, karena itu masuk ke dalam ranah ilmu fikih. Akan tetapi penulis akan membahas suatu kaidah dalam ilmu ushul fikih yang erat kaitannya dengan tiap ibadah, yaitu mengenai hukum perkara-perkara yang menjadi sarana atau perantara terwujudnya suatu ibadah.

Definisi Ibadah

Lafadz ibadah dalam Bahasa Arab merupakan bentuk mashdar dari kata kerja ‘abada-ya’budu-‘ibadatan, yang artinya tunduk dan patuh[1], atau bisa diartikan juga ketaatan yang disertai ketundukan dan kerendahan[2].

Adapun secara terminologi, beberapa ulama berbeda pendapat dalam penafsirannya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah[3] mendefinisikan ibadah sebagai suatu kata benda yang mencakup segala sesuatu yang dicintai dan diridai oleh Allah berupa perkataan dan perbuatan baik yang tampak maupun tak tampak[4], juga dalam kesempatan lain beliau juga berkata bahwa ibadah adalah menaati Allah dengan melakukan apa yang Allah perintahkan melalui lisan Rasul-Rasul-Nya[5].

Ibnu Katsir rahimahullah[6] berkata tentang tafsir ayat,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

bahwa ibadah adalah menaati Allah dengan melakukan hal-hal yang diperintahkan-Nya dan menjauhi hal-hal yang dilarang-Nya[7].

Jadi dapat disimpulkan bahwa ibadah mencakup perintah dan larangan, yang artinya ibadah meliputi semua hukum taklif: wajib, mandub, mubah, makruh, dan mahzhur.

Apa yang Dimaksud dengan Sarana Ibadah?

Dalam pembahasan di sini, sarana yang dimaksud adalah sebab, syarat, atau hal-hal yang menjadi keharusan dalam menjalankan suatu ibadah. Perlu kita ketahui, dalam melaksanakan suatu ibadah, pasti kita tidak bisa lepas dari perbuatan-perbuatan yang mengantarkan dan menjadi perantara kita untuk mewujudkan ibadah tersebut.

Penulis bermaksud membahas suatu bahasan penting dalam ilmu ushul fikih yang diterapkan dalam ibadah yang wajib, yaitu tentang:

مَا لَا يَتِمُّ الوَاجِبُ إِلاّ بِهِ

yaitu sesuatu yang hukumnya wajib tidak akan terlaksana kecuali dengan memenuhi hal tersebut. Hal inilah yang kami maksudkan sebagai sarana sempurnanya ibadah.

Seperti yang penulis paparkan di awal, sarana yang dimaksud adalah berupa sebab dan sarat. Penulis akan membahas secara ringkas definisi keduanya beserta jenis-jenisnya.

  1. Sebab

Sebab secara Bahasa artinya segala sesuatu yang menyampaikan kepada hal lainnya.[8] Maksudnya adalah sebab bukan sesuatu yang mempengaruhi ada atau tidaknya sesuatu, akan tetapi sebab adalah perantara kepadanya.[9]

Adapun sebab menurut istilah ushul fikih terdapat perbedaan pendapat pada definisinya, tetapi yang lebih dekat kepada kebenaran adalah sesuatu yang dengan keberadaannya, akan terwujud sesuatu yang lain, dan ketidak beradaannya akan menimbulkan ketiadaan dzat hal tersebut.[10] Artinya sebab merupakan segala sesuatu yang dijadikan syariat sebagai tanda adanya suatu hukum, dan ketiadaan sebab tersebut meniadakan pula suatu hukum.

Contoh sebab adalah perbuatan zina yang mewajibkan adanya hukum had. Apabila terdapat sebab (yakni zina), maka terdapat pula hukum (yakni kewajiban had). Dan jika sebab (zina) tidak ada, maka hukum (had) pun tidak ada.

Sebab sendiri terbagi menjadi tiga macam:

  • Sabab syar’iy, yaitu sebab yang menjadi perantara hal yang syar’i, contohnya lafadz “aku membebaskanmu” dalam kafarat pembebasan budak.
  • Sabab ‘aqliy, yaitu sebab yang berkaitan dengan nalar, misalnya naik ke tempat tinggi sebagai cara untuk melempar sesuatu ke bawah.
  • Sabab ‘adiy, yaitu sebab yang kaitannya dengan kebiasaan, contohnya adanya api ketika kita membakar suatu benda.

 

  1. Sarat

Sarat secara Bahasa artinya mengharuskan sesuatu dan berkomitmen atasnya.[11] Sedangkan menurut istilah ushul fikih, Ibnu Qudamah[12] menyebutkan dua definisi.

Pertama; sesuatu yang dengan ketiadaannya, hukum menjadi tidak ada.[13] Maksudnya bahwa apabila sarat tidak ada, hukum pun tidak ada. Contohnya jika nikah tidak ada, maka hukum rajam dalam zina menjadi tidak ada pula, karena rajam bagi orang yang sudah menikah. Orang yang belum menikah lalu ia berzina, maka dia dicambuk dan diasingkan.

Kedua; tidak adanya sesuatu yang disaratkan karena sarat tidak ada, akan tetapi jika sarat ada, hukum tersebut tidak pasti ada.[14] Contohnya adalah thaharah (bersuci), yang merupakan sarat sah salat. Sesuatu yang disaratkan (yaitu sahnya salat) tidak mungkin ada bersamaan dengan tidak adanya sarat (yaitu thaharah).[15]

Kemudian sarat berdasarkan sifatnya terbagi menjadi empat[16]:

  • Sarat ‘aqliy, yaitu sesuatu yang disaratkan tidak akan ada dan tidak mungkin ada secara logika kecuali dengan sarat tersebut. Contohnya: sarat kehidupan untuk ilmu. Secara logika, ilmu tidak akan ada tanpa kehidupan, maka apabila sesuatu tidak hidup, ilmu pun tidak ada, tetapi sesuatu yang hidup tidak harus memiliki ilmu.
  • Sarat syar’i, yaitu sesuatu yang dijadikan syariat sebagai sarat bagi hukum-hukum tertentu. Misalnya adalah pensaratan thaharah untuk sahnya salat. Syariat yang telah menetapkan bahwa salat tidak sah kecuali dengan thaharah, maka secara syar’i adanya salat tergantung pada adanya thoharoh, tetapi tidak harus ada salat dengan adanya thoharoh.
  • Sarat ‘adiy, yaitu sesuatu yang menjadi sarat secara kebiasaan. Contohnya mendirikan tangga untuk memanjat ke atap. Secara kebiasaan, seseorang tidak mungkin memanjat ke atap kecuali dengan tangga atau alat semisal nya.

Demikian definisi sebab dan sarat secara ringkas yang dapat menjadi sarana suatu ibadah.

 

Hukum Sarana Ibadah  

Sebagaimana yang telah penulis sebutkan di awal artikel, bahwa hukum sarana ibadah yang penulis maksud di sini diambil dari bab (ما لا يتم الواجب الا به) dalam ilmu ushul fikih, yang jika diartikan kurang lebih menjadi sesuatu yang wajib tidak akan terlaksana sempurna kecuali dengan melakukannya.

Para ulama ushul fikih berbeda-beda dalam penyebutan bab ini, beberapa menggunakan ibarat مقدمة الواجب (pembukaan sesuatu yang wajib), atau  الوسيلة (perantara), atau وسيلة الواجب (perantara sesuatu yang wajib).[17]

Bab ini memiliki dua cabang.[18]

Pertama; sesuatu yang tidak disandarkan kepada kemampuan seorang hamba. Contohnya adanya kemampuan dan tangan untuk menulis. Keduanya merupakan sarat ‘aqliy untuk mewujudkan suatu tulisan. Jika hukum menulis wajib, sedangkan seseorang tidak memiliki kemampuan atau tangan, sehingga tidak bisa melaksanakan kewajiban tersebut kecuali jika ia memiliki kemampuan atau tangan, maka hukum menulis tersebut menjadi tidak wajib, karena hal itu di luar kekuasaan manusia.

Contoh kedua : datangnya imam dan terpenuhinya jumlah tertentu dalam salat Jumat, yang mana keduanya merupakan sarat syar’i untuk sahnya salat Jumat. Tetapi hukumnya tidak wajib karena keduanya di luar kemampuan seorang hamba.

Perbuatan seperti dua contoh tadi, yaitu sarana berupa kekuatan dan tangan untuk terwujudnya tulisan, dan sarana berupa kehadiran imam dan jamaah untuk sahnya salat Jumat, hukumnya tidak dapat disifati dengan wajib, karena ia telah keluar dari kemampuan seorang hamba dan tidak dapat serta merta terwujud sesuai keinginannya.

Cabang yang kedua; apabila sarana ini mampu dilakukan seorang hamba, yaitu bergantung pada kehendak dan pilihannya, ia bisa melakukannya atau meninggalkannya. Cabang yang kedua ini memiliki dua jenis :

  • Yang merupakan bagian dari sesuatu yang wajib. Maka ulama sepakat bahwa hukumnya wajib, karena perintah atas mahiyah murakkabah (sekumpulan bagian yang jika tidak ada, maka tiap bagiannya tidak ada)[19] menjadi perintah pula atas tiap bagiannya. Misalnya sujud yang merupakan bagian dari salat, maka perintah salat mencakup perintah sujud dan tiap bagiannya.[20]
  • Yang bukan bagian dari zat sesuatu yang wajib. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat.
  1. Pendapat pertama mengatakan bahwa hukumya wajib secara mutlak, baik ia berupa sebab maupun sarat. Ini adalah pendapat mayoritas ulama’ ushul fikih.[21]

Di antara dalil yang menguatkan pendapat ini adalah[22]:

  • Bahwasanya ibadah yang hukumnya wajib jika tidak dapat terlaksana secara sempurna kecuali dengan melakukan sesuatu, maka sesuatu yang menjadi pengantar ibadah wajib ini hukumnya wajib pula, karena taklif atas suatu hal berarti taklif pula atas hal yang menjadi sebab melaksanakannya dan sarat mewujudkannya.
  • Bahwasanya jika sesuatu yang wajib tidak bisa terlaksana kecuali oleh hal yang asalnya tidak wajib, maka demi melaksanakan sesuatu yang wajib ini, hukum yang asalnya tidak wajib menjadi wajib. Contohnya secara realita, ketika syariat mewajibkan thaharah untuk salat, sedangkan thaharah tidak dapat terlaksana kecuali dengan air dan timba sumur, maka hukum membeli timba untuk mengambil air untuk berwudu menjadi wajib.

 

  1. Pendapat kedua mengatakan bahwa hukumnya tidak wajib secara mutlak, dan ini merupakan pendapat beberapa ahli ushul[23]

Contoh dari jenis kedua adalah thaharah dalam salat. Salat tidak akan menjadi sempurna kecuali dengan thaharah. Menurut pendapat pertama (yang rajih wallahu a’lam) sebagaimana hukum salat adalah wajib, maka sesuatu yang menjadi perantaranya (yaitu thaharah) hukumnya wajib pula. Contoh lain adalah hukum berusaha menghadiri salat jumat. Karena hukum salat jumat wajib, maka hukum berusaha menghadirinya menjadi wajib juga.

Meskipun terdapat perbendaan pendapat dalam hukum jenis kedua, akan tetapi yang benar wallahu a’lam adalah bahwa hukum sarana ibadah yang wajib adalah wajib pula. Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Qudamah dalam kitabnya Raudhatun Nazhir, Al Qadhi Abu Ya’la dalam Al ‘Uddah, Al Ghazaly dalam Al Mustashfa, Ar Raziy dalam Al Mahshul, mayoritas mazhab Syafi’i dan Hanbali, serta mayoritas ulama dan ahli ilmu kalam[24].

Penutup

                Penulis telah membahas secara ringkas mulai dari definisi ibadah, apa itu sarana ibadah, serta apa hukum sarana ibadah. Setelah mengetahui hal-hal tersebut, penulis berharap kita sebagai seorang muslim hendaknya bersungguh-sungguh dan memperhatikan ibadah yang kita lakukan, bagaimana hukumnya dan apakah kita telah melaksanakannya dengan tata cara yang benar sesuai petunjuk Allah Ta’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Semoga Allah Ta’ala memudahkan kita untuk konsisten dalam beribadah, serta membukakan kepada kita khazanah-khazanah ilmu baru supaya diamalkan.

Wallahu waliyyut taufiiq.

Penulis: Zaky Hanifah

Pembimbing: Ustadz Khalid Saifullah, Lc., M.A.

Referensi :

  • Al Farabi, Abu Nashr Isma’il bin Hamad. 1407 H. Ash Shihah Taaj al Lughah wa Shihah al ‘Arabiyyah. Daar al ‘Ilm lil Malayiin: Beirut. Cetakan ke-4.
  • Al Fuyumiy, Ahmad bin Muhammad bin Ali. Al Mishbah Al Munir fi Gharib asy Syarh al Kabir. Maktabah al ‘Ilmiyyah: Beirut.
  • Al Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. 1413 H. Al Mustashfa. Dar al Kutub al ‘Ilmiyyah. Cetakan ke-1.
  • Al Qurafiy, Syihabuddin Ahmad bin Idris bin Abdirrahmn. 1393 H. Syarh Tanqih al Fushul. Syirkah at Thiba’ah al Fanniyyah al Muttahidah. Cetakan ke-1.
  • An Namlah, Abdul Karim bin Ali bin Muhammad. 1434 H. Ithaf Dzawi al Basha’ir bi Syarh Raudhatin Nazhir. Maktabah ar Rusyd: Riyadh-KSA. Cetakan ke-7.
  • At Tamimy, Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad. 1377 H. Fath al Majid Syarh Kitab at Tauhid. Mathba’ah as Sunnah al Muhammadiyyah: Kairo-Mesir. Cetakan ke-7.
  • Ibnu Katsir, Abu al Fida’ Isma’il bin Umar. 1420 H. Tafsir al Qur’an al Azhim. Dar at Thayyibah linnasyr wat tauzi’. Cetakan ke-2.
  • Ibnu Manzhur, Muhammad bin Mukarram bin Ali. 1414 H. Lisan al ‘Arab. Dar Shadir: Beirut. Cetakan ke-3.
  • Ibnu Qudamah, Abu Muhammad Muwaffaq ad Diin Abdullah bin Ahmad bin Muhammad. 1436 H. Raudhatun Nadhir wa Jannatul Munazhir. Dar al ‘Alamiyyah: Kairo-Mesir. Cetakan ke-1.
  • Ibnu Taimiyyah, Taqiyyuddin Ahmad bin Abdil Halim. 1416 H. Majmu’ al Fatawa. Majma’ al Malik Fahd li Thiba’ah al Mushaf asy Syarif: Madinah-KSA.

 

 

 

[1] Al Mishbah al Munir (2/389)

[2] Lisanul ‘Arab (3/273)

[3] Syaikhul Islam Taqiyuddin Ahmad bin Abdussalam bin Abdillah bin Taimiyyah Al Harraniy, lahir tahun 661 H di Harran (Turki) dan wafat tahun 728 H. Penulis kitab Al Aqidah al Wasithiyyah.

[4] Majmu’ al Fatawa (10/149)

[5] Fathul Majid (1/14)

[6] Al Hafidz Al Muhaddits Imaduddin Isma’il bin Umar bin Katsir. Lahir tahun 701 H di Bashrah dan wafat tahun 774 H. Penulis kitab Tafsir al Qur’an al Azhim.

[7] Tafsir al Qur’an al Azhim (7/425)

 

[8] Ash Shihah (1/145)

[9] Ithaf Dzawi al Basha’ir (1/554)

[10] Syarh Fushul (1/81)Tanqiih al

[11] Lisanul ‘Arab (7/329)

[12] Ibnu Qudamah seorang ulama fiqih bermadzab Hanbali. Lahir tahun 504 H di Palestina dan wafat 620 H.

[13] Raudhatun Nazhir (1/182)

[14] Al Mustashfa (1/261)

[15] Ithaf (1/562)

[16] Ibid (1/566)

[17] Ibid (1/346)

[18] Raudhatun Nazhir (1/118)

[19] Nafa’is al Ushul (8/349)

[20] Al Bahr al Muhith (1/297)

[21] Taisir at Tahrir (2/215)

[22] Raudhatun Nazhir (1/118)

[23] Al Ihkam (1/111)

[24] Ithaf (1/350)

 


0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *