Al-Buthlaan

Seri kedua ini merupakan lanjutan dari artikel sebelumnya yang membahas ash-shihhah. Secara umum, al-buthlaan merupakan antonim dari ash-shihhah.

Definisi Al-Buthlaan dan Contoh Perbuatan yang Dianggap Bathil

Secara bahasa, al-buthlaan artinya sesuatu yang hilang dan tidak lama menetap[1], atau hilang secara Cuma-Cuma dan sia-sia[2], lawan kata kebenaran[3]. Bentuk subyeknya adalah al-baathil, atau dalam Bahasa Indonesia sering disebut “batal”.

Adapun secara istilah ushul fiqh, al-buthlaan adalah antonim dari ash-shihhah[4], baik itu dalam ibadah maupun akad mu’amalah, sehingga al-buthlaan adalah pengibaratan suatu ibadah atau akad yang tidak mencapai tujuannya sehingga tidak membuahkan hasil[5].

Jika definisi di atas diperinci, maka al-buthlaan menurut ulama fuqaha’ yang berpendapat bahwa ash-shihhah adalah perbuatan yang menggugurkan kewajiban qadha’, maka al buthlaan adalah antonimnya, yaitu perbuatan yang tidak cukup menggugurkan kewajiban qadha’. Sedangkan menurut ulama mutakallimin yang berpendapat bahwa ash-shihhah adalah perbuatan yang sesuai dengan perintah syari`at, maka al-buthlaan adalah perbuatan yang menyelisihi syari`at.

Penerapan dalam definisi al-buthlaan misalnya, jika seseorang yang telah bersuci lalu shalat, tetapi ia menyangka dirinya berhadas, maka menurut kedua definisi di atas, ia wajib mengqadha shalatnya. Hanya saja berbeda sebabnya, menurut ulama mutakallimin ia wajib mengqadha karena ia menyelisihi perintah—yaitu shalat dalam keadaan suci dari hadas—sedangkan menurut ulama fuqaha’ ia wajib mengqadha shalat karena kehilangan syaratnya, yaitu mengetahui bahwa ia dalam keadaan suci sebelum shalat.

Contoh lain: seseorang yang tidak mengetahui arah kiblat, lalu ia shalat ke sembarang arah tanpa berusaha (berijtihad) mencari arah kiblat yang benar, tapi ternyata arah yang ia tuju benar sesuai arah kiblat. Menurut ulama mutakallimin shalatnya bathil dan tidak sah, karena ia menentukan arah kiblat tanpa berijtihad, dan itu menyelisihi syari`at. Akan tetapi menurut sebagian ulama fuqaha’ shalatnya tetap sah, karena shalatnya cukup memenuhi syarat sehingga tidak mewajibkan qadha shalat[6].

Dalam definisi lain, Al-Juwainiy menyebutkan bahwa definisi al-baathil adalah sesuatu yang tidak ada kaitannya dengan an-nufuuzh (tidak terlaksana) dan al-i`tidaad (tidak dianggap), sehingga perbuatan tersebut tidak memenuhi kriteria perbuatan yang dianggap sah, yaitu apabila tidak memenuhi syarat-syaratnya, atau terdapat penghalang darinya.

Suatu Perbuatan yang Bathil Tidak Membuahkan Hasil

Telah disebutkan sebelumnya bahwa setiap perbuatan—baik ibadah maupun akad—memiliki buah atau hasil jika perbuatan tersebut sah. Maka dari itu, suatu ibadah yang bathil tidak akan membebaskan tanggungan seorang mukallaf dari hukum taklif dan tidak akan menggugurkannya dari perintah syari’at atas hukum tersebut. Misalnya seseorang yang shalat tanpa bersuci, maka shalatnya bathil, karena ia tidak memenuhi salah satu syarat shalat, yaitu thaharah.

Begitu pula sesorang yang shalat sunnah mutlak (tanpa ada ketentuan khusus) pada waktu-waktu yang dilarang shalat, maka shalatnya bathil, karena ia melaksanakan shalat pada waktu yang terlarang.

Sedangkan suatu akad yang bathil maka ia tidak dapat memberi maksud dan tujuan dari akad tersebut. Misalnya seseorang yang menjual barang yang bukan miliknya. Akad tersebut bathil karena tidak memenuhi salah satu syarat jual beli, yaitu kepemilikan barang secara sah. Contoh lain seseorang yang melakukan jual beli setelah adzan kedua pada hari Jum’at padahal ia wajib shalat Jum’at, maka akad jual beli tersebut bathil sesuai pendapat yang lebih rajih[7].

Antara Al-Buthlaan dan Al-Fasaad

Al-fasaad secara bahasa artinya lawan kata sesuatu yang baik[8]atau kerusakan. Mayoritas ulama berpendapat bahwa al-buthlaan merupakan sinonim dari al-fasaad[9]. Akan tetapi ulama Hanafiyyah menganggap bahwa definisi keduanya berbeda, dan bahwa al-fasaad merupakan jenis ketiga selain ash-shihhah dan al-buthlaan. Menurut mereka, hubungan antara keduanya merupakan hubungan umum dan khusus, yaitu setiap perbuatan yang bathil adalah fasid, akan tetapi tidak semua perbuatan yang fasid adalah bathil.

Akan tetapi perbedaan ini dalam hal akad mu’amalah saja, sedangkan dalam hal ibadah, menurut mereka kedua lafazh ini bersinonim. Dalam hal mu’amalah, menurut mereka al-faasid adalah sesuatu yang disyari`atkan pada asalnya, tetapi dilarang karena mengandung unsur keharaman, seperti riba. Adapun al-baathil adalah sesuatu yang sejak awal tidak disyari`atkan dan tidak diletakkan hukumnya, misalnya jual beli madhaamiin dan malaaqiih[10].

Kemudian menurut pendapat mayoritas ulama, al-baathil dan al faasid merupakan kedua lafazh yang bersinonim, akan tetapi mereka membedakan antara keduanya dalam beberapa kasus, dan penulis akan menyebutkan dua kasus yang populer saja[11], yaitu:

  • Dalam haji, mereka berpendapat bahwa ketika seseorang yang dalam keadaan berihram berjima` sebelum tahallul yang pertama, maka perbuatannya disebut faasid. Sedangkan perbuatan yang baathil adalah ketika seseorang murtad dalam keadaan ihram. Letak perbedaannya adalah, dalam haji yang fasid seseorang tetap wajib menyempurnakan dahulu hajinya (meskipun hajinya rusak). Adapun dalam haji yang baathil, maka ia tidak wajib menyempurnakan dahulu hajinya, bahkan hajinya batal dan ia harus keluar dari haji saat itu juga.
  • Dalam nikah, yang disebut faasid adalah nikah yang masih diperselisihkan oleh ulama tentang kerusakannya atau kebathilannya, seperti nikah tanpa wali. Sedangkan nikah yang baathil adalah nikah yang ulama sepakat tentang kebathilannya, seperti menikahi wanita yang masih dalam masa `iddah, atau menikahi lima wanita.

Penutup

Setelah mengetahui kedua jenis hukum wadh`i ini, yaitu hukum tentang keshahihan dan kebathilan setiap perbuatan, harapan penulis kita sebagai seorang muslim tidak hanya melihat setiap ibadah ataupun mu`amalah dari kacamata hukum taklif saja, yaitu sekadar mengetahui hukum suatu perbuatan wajib ataukah sunnah, haram ataukah makruh. Karena pengetahuan tentang hukum taklif saja tidak cukup. Kita harus bisa mengetahui bagaimana hukum perbuatan tersebut jika ditinjau dari kacamata hukum wadh`i, apakah perbuatan tersebut sah ataukah batal.

Semoga penjelasan ringkas ini membuka cakrawala pengetahuan kita sebagai seorang muslim dan membawa manfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.

Wabillahi at-taufiiq wa al-hidaayah.

Penulis: Zaky Hanifah

Pembimbing: Ustaz Khalid Saifullah, Lc., M.A.

Referensi:

  • Al-Qurthubiy, Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakr bin Farh. 1384 H. Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an. Daar al-Kutub al-Mishriyyah, Kairo. Cetakan ke-2.
  • Aalu Taimiyyah (Abdussalam, Abdul Halim, dan Ahmad bin Taimiyyah). Al-Muswaddah fii Ushul Al-Fiqh. Daar al-Kitaab al-‘Arabiy.
  • Al-Amidiy, Sayyiduddin Ali bin Abi Ali. Al Ihkam fi Ushul al Ahkam. Al Maktab Al Islamiy, Beirut-Lebanon.
  • Al-Farabi, Abu Nashr Isma’il bin Hamad. 1407 H. Ash Shihah Taaj al Lughah wa Shihah al ‘Arabiyyah. Daar al ‘Ilm lil Malayiin: Beirut. Cetakan ke-4.
  • Al-Farahidiy, Al-Khalil bin Ahmad bin ‘Amr bin Tamim. Kitab Al-‘Ain. Dar wa Maktabah Al Hilal.
  • Al-Fauzan, Abdullah bin Shalih. 1434 H. Syarhul Waraqat fi Ushulil Fiqh. Maktabah Dar Al Minhaj: Riyadh-KSA. Cetakan ke-4.
  • Al-Futuhiy, Abu Al Baqa’ Muhammad bin Ahmad. 1418 H. Mukhtashar At Tahrir Syarh Al Kaukab Al Munir. Maktabah Al Ubaikan. Cetakan ke-2.
  • Al-Isnawiy, Abdurrahim bin Al-Hasan bin Ali. 1400 H. At-Tamhid fi Takhrij Al-Furu’ ‘ala Al-Ushul. Mu`assasah Ar-Risalah, Beirut. Cetakan ke-1.
  • Al-Juwaini, Abu Ma’ali Abdul Malik bin Abdullah. Al Waraqat.
  • Al-Mardawiy, ‘Alaa`Uddin Abu Al-Hasan Ali bin Sulaiman. 1421 H. At-Tahbiir Syarh At-Tahriir fi Ushul Al-Fiqh. Maktabah Ar-Rusyd, Riyadh. Cetakan ke-1.
  • Al-Qazwiniy, Abul Husain Ahmad bin Faris. 1399 H. Maqayis Al Lughah. Dar Al Fikr.
  • Ath-Thufiy, Sulaiman bin Abdil Qawiyy bin Al Karim. 1407 H. Syarh Mukhtashar Ar-Raudhah. Mu’assasah Ar Risalah, Beirut. Cetakan ke-1.
  • Ibnu Al-Liham, ‘Alaa`uddin Abu Al-Hasan Ali bin Muhammad bin Abbas. 1420 H. Al-Qawa’id wa Al-Fawa`id Al-Ushuliyyah wa Ma Yatba’uha min Al-Ahkam Al-Far’iyyah. Al-Maktabah Al-‘Ashriyyah.
  • Ibnu Manzhur, Muhammad bin Mukarram bin Ali. 1414 H. Lisan al ‘Arab. Dar Shadir: Beirut. Cetakan ke-3.

[1] Maqayiis Al-Lughah (1/258)

[2] Lisan Al-‘Arab (11/56)

[3] Al-‘Ain (7/431), Ash-Shihah (4/1635)

[4] Hal ini berdasarkan kesepakatan ulama mutakallim dan fuqaha`.

[5] Mukhtashar Tahrir (1/473)

[6] Syarh Mukhtashar ar-Raudhah (1/444)

[7] Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy (18/108)

[8] Al-‘Ain (7/231), Al-Lisan (3/335)

[9] Al-Ihkam (1/131)

[10] Jual beli madhaamiin adalah jual beli bibit pejantan (sperma yang ada pada binatang pejantan), sedangkan jual beli malaaqiih adalah jual beli hewan yang masih dalam kandungan induknya.

[11] Lihat: Syarhul Waraqat, hlm. 40, At-Tamhid, hlm. 59, Al-Qawa’id wa Al-Fawa`id Al-Ushuliyyah, hlm. 152


0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *