Di dalam nash-nash syar’iyyah terdapat dalil-dalil qath’iy yang tidak memiliki kemungkinan makna lain. Selain itu terdapat pula dalil-dalil zhanniy yang memiliki kemungkinan makna yang banyak, dan di sinilah diperlukan ijtihad ulama. Oleh karena ijtihad ulama yang bermacam-macam dalam permasalahan ini, muncullah perbedaan dalam penetapan hukum berdasarkan pemahaman mengenai dalil tersebut.

Perbedaan dalam memahami nash, bukan hanya karena nash tersebut memang mengandung multitafsir, akan tetapi juga disebabkan oleh bertingkatnya pemahaman para ulama dalam berijtihad. Ulama yang memiliki keluasan ilmu dalam permasalahan Fiqih, serta memiliki kecerdasan dan pemahaman yang kuat, tentu memiliki kesimpulan hukum yang berbeda dengan ulama yang belum mencapai derajat keilmuan tersebut.

Di dalam kitab Asbaab Ikhtilaf Al-Fuqahaa fi Al-Furuu’ Al-Fiqhiyyah[1] disebutkan beberapa faktor yang menyebabkan perbedaan dalam memahami nash:

  • Al-Isytiraak Al-Lughawiy

Ialah lafaz yang memiliki dua makna atau lebih. Misalnya kata ‘ain yang berarti mata. Mata yang dimaksudkan memiliki kemungkinan makna mata yang merupakan alat indera untuk melihat atau mata air.

Dalam permasalahan Fiqih, mengenai ‘iddah bagi wanita yang ditalak oleh suaminya sedangkan ia dalam keadaan haidh.

Imam Malik, Imam Syafi’I dan Imam Ahmad dalam salah satu riwayatnya berpendapat bahwa masa ‘iddah ialah tiga kali suci. Adapun Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa masa ‘iddah wanita tersebut ialah tiga kali haidh.

Perbedaan pendapat ini berdasarkan lafazh quru` yang terdapat dalam firman Allah ﷻ:

وَالمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ

Lafazh quru` dalam bahasa Arab bisa berarti haidh dan bisa berarti suci.

  • Perbedaan Derajat Keilmuan

Sebelumnya telah dijelaskan bahwa para mujtahid tidaklah memiliki kadar keilmuan yang sama. Oleh karena perbedaan inilah, maka terdapat perbedaan dalam memahami nash-nash dan memahami ilmu Fiqih yang terdapat di dalam nash tersebut.

Dapat dilihat dari perbedaan pendapat para ulama dalam memahami sabda Nabi Muhammad ﷺ :

 يؤم القومَ أقرأُهم لكتابِ الله

Apakah yang dimaksud dalam lafazh aqra` dalam hadits tersebut? Apakah aqra` bermakna afqah[2]atau aqra` bermakna orang yang paling dekat dengan Al-Qur`an?

Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa yang lebih utama menjadi imam ialah aqra` yang bermakna afqah.

Sedangkan Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad berpendapat bahwa yang lebih utama menjadi imam ialah aqra` yang bermakna orang yang paling banyak hafalannya dan paling dekat dengan Al-Qur`an.

Perbedaan pendapat ini berakar dari perbedaan mereka dalam memahami hadits Rasulullah ﷺ. Hadits ini disepakati keshahihannya akan tetapi diperselisihkan maknanya. Beberapa ulama memahami nash hadits berdasarkan zhahirnya seperti pendapat Imam Abu Hanifah, adapun ulama lainnya berpendapat makna aqra` dalam hadits tersebut adalah afqah karena menguasai ilmu Fiqih memiliki urgensi yang lebih bagi seorang imam dibandingkan dengan menguasai qira`ah.

  • Metode Pengkajian

Terkadang ulama mengkaji hal-hal yang tidak dikaji oleh ulama lainnya seperti asbabu an-nuzuul[3]dan asbabu al-wuruud[4]dan semisalnya.

Misalnya ialah perbedaan ulama dalam memahami larangan yang terdapat dalam firman Allah ﷻ:

ولا تُلقُوا بِأَيدِيكُم إلى التَّهلُكَة

Beberapa ulama berpendapat bahwa ayat ini ialah larangan membahayakan diri dalam pembunuhan (bunuh diri), ulama lainnya berpendapat bahwa ayat ini mengandung larangan kikir dalam berinfak demi berjihad di jalan Allah ﷻ.

Jika ditinjau dari sebab turunnya ayat ini, maka pendapat kedua yang menyatakan bahwa ayat ini mengandung larangan kikir dalam berinfak kepada keluarga (memberi nafkah keluarga) dengan alasan berjihad di jalan Allah ﷻ adalah benar.

Catatan: dalam ilmu Ushul Fiqih dijelaskan bahwa sebab turunnya sebuah ayat tidaklah menjadi pengkhususan dalam sebuah hukum. Maka ayat tersebut sifatnya adalah umum, bukan khusus. Namun tetap saja sebab turunnya ayat atau hadits dapat menjadi pertimbangan dalam mengambil kesimpulan hukum.

Sumber Referensi:

Adaab Al-Ikhtilaaf fi Al-Islaam. Thaha Jaabir Fayyadh Al-‘Alwaaniy. Qatar: Riaasah Al-Mahaakim Asy-Syar’iyyah wa Asy-Syu`un Ad-Diiniyyah fi Daulati Qathar.

Al-I`tilaaf wa Al-Ikhtilaaf Asaasuhu wa Dhowaabithuhu. Shaalih bin Ghaanim As-Sadlan. Riyadh: Daar Balensiyah.

Al-Iftiraaq Mafhuumuhu wa Asbaabuhu wa Al-Wiqaayah Minhu. Naashir bin ‘Abdi Al-Kariim Al-‘Aql.

Al-Mishbaah Al-Muniir fi Ghariib Asy-Syarh Al-Kabiir. Ahmad bin Muhammad bin ‘Ali. Mesir: Daar Al-Ma’arif.

Atsar Al-Lughah wa Ikhtilaaf Al-Mujtahidiin. ‘Abdul Wahab ‘Abdu As-Salaam Thawiilah. Daar As-Salaam.

Dhowabith Al-Ikhtilaaf fi Mizaan As-Sunnah. ‘Abdullah Sya’ban

Fathu Al-Baari bi Syarhi Shaahih Al-Bukhaari. Ahmad bin ‘Ali bin Hajar Al-‘Asqalaaniy. Riyadh: Daar Ath-Taibah.

Lisaan Al-‘Arab Muhammad bin Mukarram bin Manzhur Al-Afriqhiy Al-Mishriy. Beirut: Daar Shaadir.

Mu’jam Maqaayiis Al-Lughah. Ahmad bin Faaris bin Zakariyaa. Suria: Daar Al-Fikr.

Muraa’aatu Al-Khilaaf fi Al-Fiqhi Ta`shiilan wa Tathbiiqan. Mukhtaar Qawaadiri (Risaalah Al-Maajister Al-Jaami’ah Al-Islaamiyyah Al-‘Alamiyyah Islamabad, Pakistan)

Qoo’idah Muraa’ah Al-Khilaaf fi Al-Fiqh Ta`shiilan wa Tathbiiqan. Khaalid bin ‘Abdillah Al-Mushlih.

Shahiih Al-Bukhaari. Muhammad bin Isma’il Al-Bukhaari. Beirut: Daar Ibnu Katsiir.Tahdziib Al-Masaalik fi Nushrati Madzhab Al-Imaam Maalik. Yusuf bin Duunas Al-Fandlaawy.


[1] Hal. 82

[2] Orang yang lebih atau paling mengetahui tentang ilmu Fiqh

[3] Sebab-sebab diturunkannya ayat Al-Qur`an

[4] Sebab-sebab keluarnya hadits

Kategori: Fiqih

0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *