Bismillah wal-hamdu lillah, wash-shalaatu was-salaamu ‘ala Rasulillah ﷺ. Amma ba’du.
Pembahasan artikel kali ini masih melanjutkan pembahasan sebelumnya seputar al-adaa`, al-qadha`, dan al-i’aadah. Berikut cabang pembahasannya secara ringkas.
Apakah Al-Qadha` Dapat Menyifati Ibadah Sunnah?
Sebagaimana kita ketahui, ketiga sifat ini(al-adaa`, al-qadha`, dan al-i’aadah) dapat menyifati suatu ibadah yang wajib, dan ulama sepakat atas hal ini. Begitu juga ulama sepakat bahwa sifat al-adaa` dan al-i’aadah dapat menyifati ibadah yang sunnah. Akan tetapi terdapat khilaf apakah al-qadha` dapat menyifati ibadah sunnah?
Dalam kasus ini terdapat dua pendapat:
Pertama: Bahwa qadha` dapat menyifati ibadah sunnah jika ia memiliki waktu yang telah ditetapkan. Berbeda halnya dengan ibadah sunnah yang mutlak (tidak terikat waktu), yang mana ia tidak dapat disifati dengan ketiga sifat ini, baik adaa`, qadha`, maupun i’aadah.
Pendapat ini adalah pendapat jumhur ulama, dan pendapat inilah yang lebih dekat dengan “kebenaran” wallahu a’lam. Berdasarkan pendapat ini, dapat kita katakan bahwa jika seseorang terlewat dari melaksanakan suatu ibadah sunnah (yang terikat waktu), maka boleh baginya meng-qadha’ ibadah tersebut. Sebagaimana perkataan para ulama, “Sesungguhnya meng-qadha’ suatu ibadah sunnah hukumnya sunnah, sebagaimana meng-qadha` suatu ibadah wajib hukumnya wajib. Dan ibadah pengganti sama kedudukannya dengan ibadah yang diganti (di-qadha`).”
Dalil pendapat pertama ini adalah peng-qiyas-an ibadah sunnah dengan ibadah wajib, karena pada keduanya tidak ada perbedaan, sehingga memiliki konsekuensi hukum yang sama dengan ibadah wajib.
Kedua: Bahwasanya ibadah sunnah tidak dapat disifati dengan qadha`.
Pendapat ini adalah pendapat madzhab Hanafiyyah, dan mereka bekata bahwa qadha` terbatas pada ibadah wajib saja. Hal ini dikarenakan ibadah sunnah kedudukannya di bawah ibadah wajib, yang mana perintah melakukannya sifatnya tidak harus.
Beberapa ulama madzhab Hanafiyyah mengecualikan qadha` ibadah sunnah jika sunnahnya mu`akkad (sangat dianjurkan melakukannya). Contohnya dalam shalat dua raka’at sebelum shalat Shubuh, jika seseorang terlewat dari pelaksanaannya, maka disunnahkan baginya meng-qadha shalat tersebut.
Kesimpulannya, khilaf dalam masalah ini sifatnya hanya pada lafazhnya saja, dan cara memaknainya. Karena seluruh ulama sepakat bahwa jika seseorang tidak melakukan suatu ibadah sunnah tertentu, lalu ia tidak meng-qadha`nya, hal ini tidak akan mempengaruhi tanggungannya sebagai seorang mukallaf, dan ia tidak dipaksa melakukannya. Sebab hakikat dari ibadah sunnah adalah tidak ada hukuman bagi orang yang tidak melaksanakannya[1].
Dalil yang Mewajibkan Pelaksanaan Qadha`[2]
Pada subbab ini disebutkan bahwa ulama juga berbeda pendapat, apakah dalil yang mewajibkan qadha sifatnya berupa perintah baru, ataukah dalil perintah pada awal diwajibkannya perbuatan tersebut? Terdapat dua pendapat dalam masalah ini.
Pertama: Dalil dari kewajiban qadha` adalah perintah pertama dalam pelaksanaan ibadah tersebut. Artinya dalil yang mewajibkan qadha` adalah dalil yang sama yang mewajibkan adaa`, sehingga tidak membutuhkan nash atau dalil baru.
Pendapat ini adalah pendapat mayoritas Hanafiyyah dan Malikiyyah, sebagian besar dari Syafi’iyyah, dan mayoritas ahli hadits.
Kedua: Dalil dari kewajiban qadha` adalah perintah baru dan dalil baru. Pendapat ini adalah pendapat sebagian besar ahli kalam.
Berdasarkan kedua pendapat di atas, pendapat yang lebih kuat adalah “pendapat pertama” wallahu a’lam karena adanya beberapa penguat, di antaranya:
- Bahwasanya pelaksanaan secara adaa` sifatnya wajib atas seorang mukallaf pada waktu yang ditentukan syari’at. Dan sebagaimana yang telah diketahui bahwa termasuk dalam kaidah syar’i adalah sesuatu yang wajib tidak akan gugur kecuali jika telah dilaksanakan secara adaa`, atau hilangnya sifat yang mewajibkan perbuatan tersebut dari diri mukallaf, atau karena tidak mampu dan seluruh sifat ini tidak dapat ditemui dalam kasus ini. Pelaksanaan suatu ibadah di luar waktunya bukanlah hal yang menggugurkan kewajiban, sehingga tanggungan masih ada atas mukallaf.
- Peng-qiyas-an kasus ini dengan hutang. Waktu yang diperintahkan untuk pelaksanaannya diibaratkan tenggat waktu hutang. Maka sebagaimana hutang tidak akan gugur dengan habisnya tenggat waktu selama hutang tersebut belum dibayar, demikian juga suatu ibadah jika tidak dilakukan pada waktunya tidak akan menggugurkan ibadah tersebut, sehingga wajib atasnya qadha`. Dan hal ini dikembalikan pada perintah awal berdasarkan dalaalah at-tadhammun[3] dan bukan berdasar dalaalah al-muthaabaqah[4].
Penutup
Demikian sedikit pemaparan mengenai hukum wadh’i yang keempat, yaitu penyifatan suatu ibadah dengan adaa`, qadha`, maupun i’aadah. Harapan penulis artikel ini bisa membuka cakrawala baru dalam ranah ilmu ushul fiqih daripada sekedar mengetahui apakah suatu ibadah wajib dilaksanakan secara adaa`, qadha`, maupun i’aadah. Akan tetapi, artikel ini tidaklah sebanding dengan apa yang telah dipaparkan para ulama ushul fiqih dalam kitab-kitab mereka, yang mana karena keterbatasan ilmu penulis pembahasan lebih rinci seputar masalah ini belum dapat terealisasikan. Wallahu waliyyu at-taufiiq.
Penulis: Zaky Hanifah
Pembimbing: Ustaz Khalid Saifullah, Lc., M.A.
Al-Maraaji’:
- Al-Bukhari, Ala`uddin Abdul Aziz bin Ahmad bin Muhammad. Kasyful Asrar Syarh Ushul Al-Bazdawiy. Daar Al-Kitab Al-Islamiy.
- Al-Farabi, Abu Nashr Isma’il bin Hamad. 1407 H. Ash Shihah Taaj al Lughah wa Shihah al ‘Arabiyyah. Daar al ‘Ilm lil Malayiin: Beirut. Cetakan ke-4.
- Al-Fuyumiy, Ahmad bin Muhammad bin Ali. Al Mishbah Al Munir fi Gharib asy Syarh al Kabir. Maktabah al ‘Ilmiyyah: Beirut.
- Al-Jizany, Muhammad bin Husain bin Hasan. 1427 H. Ma’alim Ushulil Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah. Dar Ibnul Jauzy: Riyadh-KSA. Cetakan ke-5.
- Al-Mardawiy, ‘Alaa`Uddin Abu Al-Hasan Ali bin Sulaiman. 1421 H. At-Tahbiir Syarh At-Tahriir fi Ushul Al-Fiqh. Maktabah Ar-Rusyd, Riyadh. Cetakan ke-1.
- Al-Qazwiniy, Abul Husain Ahmad bin Faris. 1399 H. Maqayis Al Lughah. Dar Al Fikr.
- An-Namlah, ‘Abdul Karim bin ‘Ali bin Muhammad. 1420 H. Al Muhadzdzab fi ‘Ilmi Ushul al Fiqh al Muqaran. Maktabah Ar Rusyd: Riyadh-KSA. Cetakan ke-1.
- As-Subkiy, Abu Al-Hasan Alibin Abdul Kafi. 1416 H. Al-Ibhaj Syarh Al-Minhaj. Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah: Beirut.
- Asy-Syinqithiy, Muhammad Al-Amin bin Muhammad Al-Mukhtar. 2001 M. Mudzakkirah fii Ushulil Fiqh.Maktabah ‘Ulum wal Hikam: Madinah. Cet. 5.
- Az-Zarkasyi, Abu ‘Abdillah Badruddin Muhammad bin ‘Abdillah bin Bahadir. 1414 H. Al Bahr Al Muhith fi Ushul al Fiqh. Dar Al Kutuby. Cetakan ke-1.
- Badisyah, Muhammad Amin bin Mahmud Amir. Taysiir At-Tahriir. Dar Al-Fikr: Beirut.
- Ibnu Manzhur, Muhammad bin Mukarram bin Ali. 1414 H. Lisan al ‘Arab. Dar Shadir: Beirut. Cetakan ke-3.
- Ibnu Qudamah, Abu Muhammad Muwaffaq ad Diin Abdullah bin Ahmad bin Muhammad. 1436 H. Raudhatun Nadhir wa Jannatul Munazhir. Dar al ‘Alamiyyah: Kairo-Mesir. Cetakan ke-1.
[1] Lihat: Al-Muhadzdzab (1/427).
[2] Ibid.
[3] Pendalilan bagi suatu lafazh yang lebih umum pada masing-masing bagiannya.
[4] Pendalilan bagi suatu lafazh berdasarkan pada seluruh maknanya.
0 Komentar