Puji syukur hanya kepada Allah ta’ala. Serta shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad ﷺ beserta keluarga, sahabat, dan para pengikutnya.

Tahun Gajah.

Mendengarnya tentu sudah tidak asing lagi bagi kita. Pada bab sebelumnya juga telah sedikit disinggung bahwasanya Rasulullah ﷺ dilahirkan pada Tahun Gajah. Kisah tentang penamaan tahun ini dengan nama tahun gajah juga tertulis abadi di dalam Al-Quran yang mulia.

Apakah semasa kecil kalian pernah mendengar cerita ini dari Ustadz atau Ustadzah TPA? Aku pernah. Ustadzahku memeragakannya dengan penuh semangat, membangun suasana seolah-olah aku juga ada di lokasi kejadian. Tapi ketika itu aku hanya mendengarnya secara ringkas. Tentang seorang raja yang datang membawa pasukannya dengan mengendarai gajah, mereka hendak menghancurkan Ka’bah. Lalu dengan kekuasaan-Nya, Allah mengirimkan burung-burung yang datang dengan batu dari neraka, melempari para pasukan bergajah hingga mereka jatuh dan tewas.

Pernahkah kawan pembaca mendengarnya? Atau versi yang kawan sekalian dengar sama persis seperti yang aku dengar? Jadi, kali ini mari kita menyelami lebih dalam tentang apa yang terjadi pada peristiwa tersebut.

أَلَمْ تَرَ كَيفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِأَصْحَابِ الْفِيلِ (1)أَلَمْ يَجْعَلْ كَيْدَهُمْ فِي تَضْلِيلٍ (2) وَأَرْسَلَ عَلَيْهِمْ طَيْرًا أَبَابِيلَ (3)  تَرْمِيهِم بِحِجَارَةٍ مِّن سِجِّيلٍ (4) فَجَعَلَهُمْ كَعَصْفٍ مَّأْكُولٍ (5)

“Apakah kamu tidak memerhatikan bagaimana Tuhamu telah bertindak terhadap tentara bergajah? (1) Bukankah Dia telah menjadikan makar mereka (untuk menghancurkan kabah) itu sia-sia? (2) dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berkelompok-kelompok (3) yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar, (4) lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat). (5)[1]

Dikisahkan oleh para sejarawan bahwa ada seseorang Raja bernama Abrahah yang ditugaskan ke Yaman oleh Raja Najasyi dari Habasyah. Ia berkeinginan membuat sebuah gereja yang sangat besar untuk memalingkan orang-orang Arab dari Ka’bah. Agar mereka tidak lagi berhaji ke sana dan berpaling ke Shan’a (Yaman). Inilah tujuan utamanya kala itu.

Berangkat dari rasa hasad dan iri melihat orang-orang Arab mengagungkan Ka’bah dengan cara berhaji dan berthawaf di sana, maka ia pun ingin membangun saingan bagi Ka’bah, yaitu gereja Al-Qullais. Sebuah gereja yang sangat besar. Penamaan ini diambil dari kata qalansuah yang berarti peci. Mengapa diberi nama demikian? Sebagian ulama mengungkapkan hal tersebut dikarenakan saking tingginya gereja itu sampai-sampai jika ada seseorang yang mengenakan peci melihat ke puncak gereja, maka niscaya pecinya akan jatuh; disebabkan betapa ia harus mendongakkan kepalanya. Abrahah menginginkan agar orang-orang melupakan Ka’bah dan berpaling menuju gereja yang ia bangun tersebut.[2]

Tibalah waktunya Raja Abrahah dan pasukannya datang memasuki Mekah. Dikisahkan ada seekor gajah yang sangat besar tubuhnya dan belum pernah ada gajah yang lebih besar dari itu. Ia dipanggil “Mahmud”. Disebutkan, bersama Mahmud, ada 8 ekor gajah lagi, dalam riwayat lain disebutkan 12 gajah. Raja Abrahah membawa gajah yang begitu banyak agar dapat menghancurkan Ka’bah dengan cara mencungkilnya. Ia memasangkan rantai-rantai yang diikatkan ke leher-leher gajah yang nantinya rantai tersebut akan diikatkan ke sudut-sudut Ka’bah. Kemudian gajah itu secara serempak mencungkilnya hingga hancur.

Dikisahkan bahwa sebelumnya orang-orang Arab belum pernah melihat gajah. Tentu hal ini menambah ketakutan bagi mereka. Kabilah-kabilah Arab pada saat itu belum bersatu sehingga mereka tidak memiliki persiapan apa-apa untuk mengalahkan kekuatan Abrahah dan pasukannya. Alih-alih, mereka justru merasa takut untuk keluar rumah.

Di tengah perjalanan, pasukan bertemu dengan kabilah Himyar. Mereka datang untuk memerangi Abrahah dan pasukannya, tapi kekuatan mereka kalah jauh. Sehingga akhirnya pimpinan Kabilah, Dzu Nafar ditawan oleh Abrahah.

Dzu Nafar berkata, “Jangan engkau bunuh aku. Lebih baik aku hidup daripada mati.”

Kemudian mereka melanjutkan perjalanan. Di tengah perjalanan, mereka kembali bertemu dengan kabilah Arab. Kabilah Khat’am dan beberapa kabilah Yaman. Mereka datang untuk menyerang Abrahah namun lagi-lagi kekuatan Abrahah tidak bisa ditaklukan. Mereka kalah, dan Nufail –pimpinan kabilah– akhirnya ditawan.

Nufail berkata, “Wahai, Raja! Aku mengetahui  tanah Arab, dan aku adalah pimpinan kabilah. Apabila aku memerintahkan mereka untuk taat kepadamu, niscaya mereka akan taat.”

Maka Abrahah setuju untuk tidak membunuhnya. Nufail menjadi pengkhianat dan justru menjadi penunjuk jalan menuju Ka’bah bagi Abrahah dan pasukannya.

Kemudian mereka kembali bertemu dengan Kabilah Tsaqif yang berasal dari Thaif. Melihat beberapa kabilah sebelumnya telah dikalahkan oleh Abrahah, akhirnya mereka langsung menyerahkan diri tanpa memulai peperangan. Maka kabilah ini mengutus seseorang untuk menjadi petunjuk jalan bagi Abrahah. Dia adalah salah seorang budak yang dipanggil Abu Righal. Sampai kini, Abu Righal dijadikan ikon pengkhianatan. Karena dia telah berkhianat terhadap bangsa Arab.

Perjalanan dilanjutkan sampai akhirnya tiba di Mekah.

Ibnu Katsir rahimahullah berkata: Tatkala Abrahah melihat Abdul Muthallib dia pun memuliakannya. Abdul Muthallib adalah seorang yang tampan dan berpenampilan indah. Abrahah kemudian turun dari singgasananya (sebagai bentuk penghormatan kepada Abdul Muthallib-pent) lalu duduk bersamanya di karpet.

Abrahah berkata kepada penerjemahnya, “Tanyakan kepadanya, apa keperluannya?”

Abdul Muthallib berkata kepada si penerjemah, “Keperluanku adalah agar sang Raja Abrahah mengembalikan kepadaku 200 ekor untaku yang diambil oleh sang raja.”

Maka Abrahah berkata kepada penerjemahnya, “Katakan kepada Abdul Muthallib, sungguh tadinya engkau membuatku kagum tatkala melihatmu, namun aku menjadi menyepelekanmu ketika engkau berbicara denganku (mengenai unta tadi-pent). Engkau justru berbicara denganku mengenai 200 ekor untamu yang aku ambil agar aku mengembalikannya padamu. Sedangkan engkau tidak menyinggung sedikit pun tentang bangunan yang merupakan simbol agama dan peninggalan nenek moyangmu. Padahal aku datang untuk menghancurkannya, lantas engkau tidak berbicara denganku tentang Ka’bah?”

Maka Abdul Muthallib berkata, “Sesungguhnya aku adalah pemilik untaku, dan sesungguhnya Ka’bah punya pemilik sendiri yang akan membelanya.”

Abrahah berkata, “Dia tidak akan mencegahku menghancurkan Ka’bah.”

Abdul Muthallib kemudian berkata, “Itu urusanmu dengan-Nya.”[3]

Dari sini kita bisa melihat, betapa sombongnya raja Abrahah. Yang menganggap bahwa dirinya bisa melakukan apa saja yang  ia inginkan. Ia mengira bahwa menghancurkan Ka’bah hanyalah masalah mendatangkan pasukan hebat lalu merobohkannya. Ia lupa bahwa Ka’bah adalah milik Allah.

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, “Kemudian Raja Abrahah dan pasukannya datang mendekati Mekah. Maka, Abdul Muthallib mendekati mereka seraya berkata: “Kami akan memberikan semua yang kau inginkan, kembalilah engkau!””

Akan tetapi Abrahah tetap bersikeras untuk masuk ke Mekah, menuju Ka’bah.[4]

Diriwayatkan pula dari Ibnu Abbas, “Bahwa Abdul Muthallib berkata, “Sesungguhnya ini adalah rumah Allah. Maka tidak akan diserahkan kepada seorang pun untuk menghancurkannya.””

Mereka berkata, “Kami tidak akan kembali hingga kami menghancurkannya.”

Kemudian mereka memerintahkan gajah-gajah mereka untuk maju, akan tetapi gajah tersebut malah mundur. Saat mereka sedang bingung dengan tingkah aneh gajah ini yang tidak mau maju, saat itulah Allah mendatangkan burung yang berbondong-bondong. Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan penggalan “thairan ababil”, maksudnya adalah datang berkelompok atau berbondong.

Burung-burung tersebut masing-masing membawa 3 buah batu; 2 di kaki dan satu di paruhnya. Batu tersebut tidak besar, kecil namun panas. Ibnu Abbas menjelaskan bahwa batu tersebut terbuat dari lumpur, sedangkan ada pula yang menafsirkan bahwa ia adalah batu yang dibakar. Tatkala burung-burung itu sejajar dengan mereka, maka dilemparkanlah batu-batu itu kepada pasukan Raja Abrahah. Sehingga mereka mengalami gatal-gatal yang sangat luar biasa dan menggaruk kulit mereka hingga dagingnya berjatuhan.”[5]

Pasukan Abrahah yang terkena lemparan batu tidak semuanya langsung tewas seketika. Di antara mereka ada yang tewas dengan cepat, dan sebagian lagi ada yang berusaha kabur dalam kondisi terputus-putus dan terlepas-lepas anggota tubuhnya hingga kemudian tewas. Adapun Abrahah, dia tidak tewas seketika dan dia termasuk orang yang kabur. Allah tidak menjadikannya langsung tewas karena Allah ingin menyiksanya. Ada yang berpendapat bahwa dia tewas di negeri Khots’am, dan adapula yang berpendapat bahwa ia berhasil kembali ke Shan’a dan mati di sana.

Namun selama perjalanan, tubuhnya terlepas sedikit demi sedikit sampai ketika tiba di Shan’a dadanya terbelah dan jantungnya keluar, Allah menyiksanya dan tidak langsung mematikannya.[6]

Di tahun inilah, Rasulullah ﷺ  lahir. Sebagian menyebutkan bahwa kelahiran Rasulullah ﷺ adalah sekitar 50 hari setelah tragedi ini.

Penulis: Cut Hudzaifah Najwa Azalea

Pembimbing: Ustadz Sanusin Muhammad Yusuf, Lc., M.A

Rujukan:

Al-Quran Al-Karim

Tafsir Al-Quran Al-Azhim. Ibnu Katsir, Dar Ibnul Jauzi

Tafsir Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Iyad bin Abdul Latif bin Ibrahim Al-Qomisi, Dar Ibnul Jauzi.

As-Silsilah Ash-Shahihah, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani. Maktabah Al-Ma’rifah

As-Sirah An-Nabawiyah Ash-Shahihah. Madinah: Maktabah Al-Ulumi wa Al-Hikam

Ar-Raudh Al-Unuf Syarhu Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam, Imam As-Suhaili. Asy-Syamilah

Mukhtashar Siratir-Rasul wa Sirati Ashabi Al-Asyrah, Abu Muhammad Abdul Ghaniy Abdul Wahid Al-Muqaddisiy, Riyadh.

Syaikh Nabil Al-Awadi dalam salah satu videonya yang berjudul Qishatu Ashabil Fil dipublikasikan pada tanggal 30 Oktober 2011.

Ustadz Firanda Andirja dalam salah satu videonya yang berjudul Kisah Tentara Gajah yang Hendak Menghancurkan Ka’bah dipublikasikan pada tanggal 24 Feb 2016.

Ustadz Khalid Basalamah dalam salah satu videonya yang berjudul Kisah Penyerangan Pasukan Gajah Abrahah ke Mekah dipublikasikan pada tanggal 8 Feb 2018 (Wadah Muslimah)


[1] Surah Al-Fiil, ayat 1 – 5

[2] Lihat Tafsir Ibnu Katsir 8/484

[3] Tafsir Ibnu Katsir, 8/485

[4] HR. Al-Hakim dalam  Al-Mustadrak, 3974

[5] Al-Haifz ibnu Hajar, Fathul Bari 12/207

[6] Tafsir Ibnu Katsir

Kategori: Siroh

0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *