Bismillah, wash-shalaatu was-salaamu ‘ala Rasulillah , amma ba’du.

Pada artikel sebelumnya telah penulis singgung mengenai pembagian wajib berdasarkan dzatnya, yaitu hakikat wajib. Kemudian artikel kali ini akan membahas pembagian hukum wajib bila ditinjau dari aspek lainnya.

Hukum wajib jika ditinjau dari objek yang diperintah oleh syari’at (mukhathab) terbagi menjadi dua jenis, yang pertama wajib ‘ainiy (atau disebut juga fardhu ‘ain) dan kedua wajib kifa`iy (disebut juga fardhu kifayah).

Definisi Wajib ‘Ainiy

Definisi wajib tidak penulis bahas kembali pada artikel ini karena sudah pernah dibahas sebelumnya. Adapun definisi ‘ain secara bahasa diambil dari kata kerja ‘aana-ya’iinu, yaitu sesuatu itu sendiri atau seseorang atau individu[1]. Kemudian secara istilah ushul fiqh, wajib ‘ain (disebut juga al-wajib al-‘ainiy atau fardhu ‘ain) adalah suatu kewajiban yang mencakup tiap individu[2].

Dalam definisi lain disebutkan bahwa wajib ‘ainiy adalah suatu perbuatan wajib yang pelaksanaannya dibebankan pada mukallaf itu sendiri, yaitu suatu perbuatan yang diminta pelaksanannya dari setiap indvidu mukallaf[3].

Demikian definisi ringkas dari wajib ‘ainiy. Penjelasan dari definisi di atas akan dibahas di bawah ini.

Mengapa Disebut Wajib ‘Ainiy?

Suatu perbuatan yang wajib disebut sebagai wajib ‘ainiy karena kewajiban perbutan tersebut dibebankan atas tiap mukallaf dan tidak dapat diwakilkan kepada orang lain, seperti shalat dan zakat. Karena perbuatan ini dinisbatkan kepada zat pelakunya secara khusus, dan ini yang menjadi maksud dan tujuan pelaksanaannya, maka tanggungan seorang mukallaf tidak akan gugur jika belum melakukan kewajiban ini.

Dalam catatan kaki kitab Raudhatun Nadzir, Sya’ban Muhammad Ismail[4] menyebutkan bahwa wajib ‘ainiy adalah suatu permintaan (perintah maupun larangan-pen) yang ditujukan kepada setiap mukallaf, yaitu permintaan syari’at atas setiap individu mukallaf untuk melakukan suatu perbuatan, sehingga tidak cukup sebagian orang melakukannya atas sebagian yang lain, yang mana tanggungan seorang mukallaf tidak akan gugur kecuali jika melakukannya, dan ia akan berdosa jika meninggalkannya, dan perbuatan ini tidak bisa dilakukan oleh orang lain[5].

Contoh Perbuatan Wajib ‘Ainiy

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, ibadah yang sifatnya wajib ‘ainiy adalah yang diwajibkan atas tiap individu mukallaf, tidak akan gugur sampai ia melaksanakannya, dan tidak dapat diwakilkan. Contoh dari perbuatan ini adalah shalat fardhu, zakat wajib, puasa Ramadhan, haji, menepati janji, menunaikan hak oraang lain, dan lain sebagainya.

Definisi Wajib Kifa`iy

Secara bahasa, kata kifayah merupakan mashdar dari kata kerja kafaa-yakfii yang artinya jika seseorang telah melakukan suatu urusan[6]. Dalam kamus lain disebutkan bahwa kifayah adalah jika telah cukup suatu perbuatan sehingga tidak perlu dilakukan oleh orang lain[7].

Adapun secara istilahnya, wajib kifa`iy adalah jika sekelompok mukallaf menyangka suatu perbuatan wajib telah dilakukan, kewajiban itu gugur atas sekelompok yang lainnya, akan tetapi jika ternyata belum dilakukan, kewajiban itu akan tetap ada hingga dilakukan[8].

Disebutkan pula bahwa wajib kifayah adalah suatu perbuatan yang wajib dilakukan atas sekelompok mukallaf dan bukan atas tiap individunya, yang mana jika sekelompok mukallaf tersebut sudah melakukannya, maka perbuatan wajib ini telah terlaksana, dan sekelompok lain yang tidak melakukannya tidak berdosa[9].

Jadi dapat disimpulkan bahwa pada hukum wajib kifayah, kewajiban tersebut akan gugur jika telah dilaksanakan oleh sebagian orang, tetapi belum gugur hingga kewajiban tersebut dilaksanakan. Jika sampai tidak ada yang melaksanakannya, maka semua mukallaf tersebut berdosa.

Mengapa Disebut Wajib Kifa`iy?

Suatu perbuatan yang wajib disifati dengan kifa`iy karena dinisbatkan kepada definisinya secara bahasa, yaitu cukup. Artinya siapapun pelaksananya selama telah mencapai jumlah yang cukup, apabila perbuatan tersebut telah terwujud, maka akan gugur kewajiban tersebut atas orang lain. Sehingga orang lain yang tidak melakukannya tidak berdosa, karena telah ada orang lain yang melakukannya.

Oleh karena itu, tujuan dari adanya hukum ini adalah terlaksananya suatu perbuatan wajib tanpa melihat siapa pelakunya, demi mewujudkan maslahat dan mencegah mafsadat.

Contoh Perbuatan Wajib Kifa’iy

Di antara contoh ibadah yang disifati dengan wajib kifayah adalah jihad di jalan Allah. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ

Artinya, “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka  beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. At-Taubah: 122)

Dalam ayat ini disebutkan bahwa kewajiban jihad adalah bagi sekelompok orang saja, dan gugur atas sekelompok yang lain. Akan tetapi hal ini berlaku selama seruan jihad itu tidak ditujukan seorang pemimpin kepada seluruh rakyatnya (an-nafiir al-‘am).

Selain itu, contoh perbuatan lain adalah mengurusi jenazah (meliputi memandikan, mengkafani, dan men-shalatinya), menjawab salam, menolong seseorang yang tenggelam, dan lain sebagainya.

Kapan Suatu Perbuatan Wajib Kifa`iy Berubah Menjadi Wajib ‘Ainiy?

Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, pada wajib kifayah yang dilihat adalah terlaksananya suatu perbuatan, bukan siapa yang melaksanakannya. Akan tetapi, perbuatan wajib kifayah tersebut dapat berubah menjadi wajib ‘ain, misalnya pada keadaan-keadaan berikut[10]:

  1. Jika seorang pemimpin menunjuk seseorang untuk melakukan pengurusan jenazah, maka hukumnya menjadi wajib ‘ain bagi orang tersebut selama tidak ada yang menggantikannya.
  2. Jika seseorang melihat orang tenggelam dan tidak ada orang lain selain ia, hukum menolongnya adalah wajib ‘ain baginya, karena tidak dapat ditunda.
  3. Jika seseorang mengira dengan dugaan yang kuat bahwa belum ada orang lain yang melakukannya, maka hukum perbuatan itu adalah wajib ‘ain atasnya.

Syarat Wajib Kifayah

Suatu perbuatan disebut sebagai wajib kifayah jika terdapat dua hal padanya:

  1. Terdapat maslahat syar’i pada perbuatan tersebut, atau perantara menuju maslahat syar’i. Contoh maslahat syar’i adalah mengajarkan ilmu-ilmu syar’i dan membantah orang-orang yang menyerang Islam. Adapun contoh dari perantara maslahat syar’i adalah melakukan profesi-profesi tertentu yang dibutuhkan oleh manusia, dengan niat beribadah atau menegakkan syari’at Islam.
  2. Terdapat maslahat yang belum tentu terulang jika perbuatan tersebut terjadi lagi. Misalnya menolong seseorang yang tenggelam. Jika sudah ada satu orang yang menyelamatkannya, maka orang lain yang ikut masuk ke laut untuk menolongnya tidak mendapat apa-apa. Maka hal ini sifatnya kifayah, yaitu cukup dilakukan oleh pelaku pertama saja.

Penutup

Sampai di sini pembahasan kita mengenai jenis perbuatan wajib yang pertama, yaitu jika ditinjau dari pelaksananya. Semoga pembahasan kali ini dapat memberi wawasan tambahan mengenai jenis-jenis ibadah wajib yang kita lakukan, untuk menghindari salah kaprah maupun salah penempatan pada jenisnya.

Wallahu a’lam bish-shawaab.

Penulis: Zaky Hanifah

Pembimbing: Ustaz Khalid Saifullah, Lc., M.A.

Maraji’:

  • Al-Farabi, Abu Nashr Ismail bin Hamad. 1407 H. Ash-Shihhah Taaj Al-Lughah wa Ash-Shihhah Al-‘Arabiyyah. Beirut: Dar Al-‘Ilm lil-Malayiin. Cet. IV.
  • Al-Farahidiy, Al-Khalil bin Ahmad bin ‘Amr bin Tamim. Kitab Al-‘Ain. Dar wa Maktabah Al-Hilal.
  • Al-Fuyumiy, Ahmad bin Muhammad bin Ali. Al-Mishbah Al Munir fi Gharib Asy-Syarh Al-Kabir. Beirut: Maktabah Al-‘Ilmiyyah.
  • Al-Qazwiniy, Abul Husain Ahmad bin Faris. 1399 H. Maqayiis Al-Lughah. Dar Al-Fikr.
  • An-Namlah, Abdul Karim bin Ali bin Muhammad. 1420 H. Al-Jami’ li-Masa`il Ushulil Fiqh wa Tathbiqatuha ‘ala Al-Madzhab Ar-Rajih. Riyadh: Maktabah Ar-Rusyd. Cet. I.
  • An-Namlah, Abdul Karim bin Ali bin Muhammad. 1420 H. Al-Muhadzdzab fi ‘Ilmi Ushul Al-Fiqh Al-Muqaran. Riyadh: Maktabah Ar-Rusyd. Cet. I.
  • As-Subkiy, Abu Al-Hasan Ali bin Abdil Kafi. 1416 H. Al-Ibhaj fi Syarh Al-Minhaj. Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah.
  • Ibnu Qudamah, Abu Muhammad Muwaffaq ad-Diin Abdullah bin Ahmad bin Muhammad. 1423 H. Raudhatun Nazhir wa Jannatul Munazhir. Beirut: Mu`assasah Ar-Rayyan. Cet. II.

[1] Ash-Shihhah (6/2170).

[2] Al-Ibhaaj (1/100).

[3] Al-Jaami’ li-Masaa`il Ushulil Fiqh (1/34).

[4] Beliau adalah Sya’ban Muhammad Ismail Utsman, seorang penulis dan guru besar di berbagai universitas di Saudi Arabia, Sudan, dan Qatar. Lahir di Mesir tahun 1359 H. Beliau telah men-tahqiq banyak kitab, di antaranya Tafsir Al-Jalalain dan Mi’rajul Minhaj, di samping karya-karya beliau sendiri. Sekarang aktif mengajar di Jurusan Qira’at Program Pascasarjana di Universitas Ummul Qura`, Makkah.

[5] Catatan kaki Raudhatun Nazhir (1/122).

[6] Al-‘Ain (5/413), Maqayiis Al-Lughah (5/188), Lisaan Al-‘Arab (15/225).

[7]Al-Mishbaah Al-Muniir (2/537).

[8] Al-Ibhaaj (1/100).

[9] Al-Jaami li-Masaa`il Ushulil Fiqh (1/34).

[10] Al-Muhadzdzab (1/215).


0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *