Puji syukur kepada Allah Ta’ala yang melimpahkan taufik serta hidayah-Nya kepada kita semua. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad  ﷺ.

Pada pembahasan sebelumnya kita telah membahas kecenderungan Rasulullah ﷺ dengan ‘uzlah (menyendiri) di Gua Hira’. Hal ini dikarenakan Allah telah mengatur dan mempersiapkan kehidupan Rasulullah ﷺ untuk mengemban amanat yang besar. Maka kali ini kita akan melanjutkan pembahasan berikutnya, diturunkannya wahyu dari Allah Azza wa Jalla kepada Rasulullah ﷺ untuk pertama kalinya.

Tatkala usia beliau genap empat puluh tahun -yang merupakan puncak kematangan , dan ada pula yang menyatakan bahwa di usia inilah para Rasul diutus- tanda-tanda nubuwwah (kenabian) nampak dan bersinar. Di antaranya; beliau tidak bermimpi kecuali sangat jelas, sejelas fajar subuh yang menyingsing. Hal ini berlangsung hingga enam bulan. Ketika pengasingan dirinya di gua Hira’ memasuki tahun ketiga, tepatnya di bulan Ramadhan, Allah menghendaki rahmatNya terlimpahkan segenap penduduk bumi, lalu muliakanlah beliau dengan mengangkatnya sebagai Nabi, lalu  Jibril turun kepadanya dengan membawa beberapa ayat Al-Qur’an.

Imam Bukhari meriwayatkan dari Aisyah radhiallahu ta’ala ‘anha menceritakan permulaan wahyu, ia berkata, “Wahyu pertama diterima oleh Rasulullah dimulai dengan suatu mimpi yang benar. Dalam mimpi itu beliau melihat cahaya terang laksana fajar menyingsing di pagi hari. Kemudian beliau digemarkan oleh Allah untuk melakukan khalwat. Beliau beliau melakukan ‘uzlah (menyendiri) di gua Hira’melakukan ibadah selama beberapa malam, kemudian pulang kepada keluarganya (Khadijah) untuk mengambil bekal. Demikianlah berulang kali hingga suatu saat beliau dikejutkan dengan datangnya kebenaran di dalam gua Hira’. Pada suatu hari datanglah malaikat lalu berkata, “Bacalah!” beliau menjawab, “Aku tidak dapat membaca.” Rasulullah menceritakannya lebih lanjut, malaikat itu lalu mendekati aku dan memelukku sehingga aku merasa lemah sekali, kmudian aku dilepaskan. Ia berkata lagi, “Bacalah!” aku menjawab, “Aku tidak dapat membaca.” Untuk yang ketiga kalinya ia mendekati aku dan memelukku hingga aku merasa lemas, kemudian aku dilepaskan. Selanjutnya ia berkata lagi, “Bacalah dengan nama Rabb-mu yang telah menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan tuhanmulah yang Maha Pemurah. Yang mengajar dengan perantara kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” Setelah menerima wahyu di gua Hira, beliau Nabi kembali ke rumah Khadijah.[1]

Sebagaimana juga disebutkan  di dalam hadits Aisyah radhiallahu ta’ala ‘anha, “Beliaupun pulang dalam kondisi gemetar dan bergegas hingga masuk ke rumah Khadijah. Kemudian Nabi berkata kepadanya: Selimuti aku, selimuti aku. Maka Khadijah pun menyelimutinya hingga hilang rasa takutnya. Kemudian Nabi bertanya: “Wahai Khadijah, apa yang terjadi denganku ini?’. Lalu Nabi menceritakan kejadian yang beliau alami kemudian mengatakan, “Aku amat khawatir terhadap diriku”. Maka Khadijah mengatakan, “Sekali-kali janganlah takut! Demi Allah, Dia tidak akan menghinakanmu selama-lamanya. Sungguh engkau adalah orang yang menyambung tali silaturahmi, pemikul beban orang lain yang susah, pemberi orang yang miskin, penjamu tamu serta penolong orang yang menegakkan kebenaran. Setelah itu Khadijah pergi bersama Nabi menemui Waraqah bin Naufal, ia adalah saudara dari ayahnya Khadijah. Waraqah telah memeluk agama Nasrani sejak zaman jahiliyah. Ia pandai menulis Al Kitab dalam bahasa Arab. Maka disalinnya Kitab Injil dalam bahasa Arab seberapa yang dikehendaki Allah untuk dapat ditulis. Namun usianya ketika itu telah lanjut dan matanya telah buta.

Khadijah berkata kepada Waraqah, “Wahai paman, dengarkan kabar dari anak saudaramu ini”. Waraqah berkata, “Wahai anak saudaraku. Apa yang terjadi atas dirimu?”. Rasulullah ﷺ  menceritakan kepadanya semua peristiwa yang telah dialaminya. Waraqah berkata, “(Jibril) ini adalah Namus yang pernah diutus Allah kepada Nabi Musa. Duhai, semoga saya masih hidup ketika kamu diusir oleh kaummu”. Nabi bertanya, “Apakah mereka akan mengusir aku?” Waraqah menjawab, “Ya, betul. Tidak ada seorang pun yang diberi wahyu seperti engkau kecuali pasti dimusuhi orang. Jika aku masih mendapati hari itu niscaya aku akan menolongmu sekuat-kuatnya”. Tidak berapa lama kemudian Waraqah meninggal dunia.2

Peristiwa ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an bukan buatan Nabi Muhammad ﷺ sebagaimana yang mereka tuduhkan, karena wahyu dimulai dengan anjuran untuk membaca dan penjelasannya tentang pentingnya menulis, sementara beliau tidak bisa membaca dan menulis.

Penulis : Elghautsa

Rujukan :

  1. As-siroh an-Nabawiyyah, Ibnu Hisyam, cetakan Akbar Media, Jakarta.

  1.  HR. Bukhari no. 6982, Muslim no. 160
  2.  HR. Al Bukhari no. 6982
Kategori: Siroh

1 Komentar

tadzkiroh · 30 Juli 2022 pada 11:57 PM

MasyaAllah..smga bermanfaat.dan dpt mjd penulis yg amanah

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *