Puji syukur kepada Allah Ta’ala yang melimpahkan taufik serta hidayah-Nya kepada kita semua. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shalallahu alaihi wassalam.
Pada pembahasan sebelumnya kita telah membahas hijrah pertama kalinya kaum muslimin ke negeri Habasyah (Etiopia). Yang mana di dalamnya terkandung sebuah pesan bahwa kedudukan sebuah akidah, dia berada di atas keluarga, harta, dan negeri. Tentunya, dapat kita lihat atas sikap kaum muslimin yang rela berkorban untuk meninggalkan sanak keluarga dan tanah air, demi sebuah akidah. Jika tidak, maka pilihannya adalah sebaliknya yaitu meninggalkan akidah demi harta keluarga dan sanak keluarga. Maka pada kesempatan kali ini kita akan melanjutkan pembahasan berikutnya mengenai hijrah kedua kalinya ke Habasyah.
Setelah peristiwa tersebut, gangguan dari orang-orang pasca pulangnya umat Islam dari Habasyah semakin menjadi. Mereka meningkatkan frekuensi penindasan dan penyiksaan terhadap kaum muslimin secara umum. Hal yang menyebabkan Rasullah shalallahu alaihi wassallam kembali memerintahkan para sahabatnya untuk berhijrah ke Habasyah kedua kalinya. Jumlah mereka sekitar 83 orang laki-laki dan 18 orang perempuan (adapula yang berpendapat 19 orang perempuan) Tatkala kaum Quraisy mengetahui hijrah yang kedua ini, mereka merasa tidak senang ketika kaum muhajirin tersebut mendapatkan tempat berlindung bagi diri dan agama mereka. Untuk itulah, mereka mengirim beberapa orang terbaik yaitu Amru bin Ash dan Abdullah bin Abu Rabi’ah. Mereka juga mengirim hadiah yang bernilai tinggi untuk diberikan kepada Najasyi dan tokoh-tokoh agamanya serta para petinggi kerajaan. Setelah keduanya sampai dan bermaksud menemui Najasyi yang sebelumnya mereka telah berikan sogokan kepada pejabat dan pemuka agama dengan tujuan agar tatkala terjadi dialog, maka mereka memberi dukungan hingga maksud untuk mengeluarkan kaum Muslimin dari lingkungan Najasyi bisa berjalan mulus.
Tatkala keduanya menghadap kepada sang raja, menyerahkan beberapa buah hadiah kepadanya lalu berbicara dengannya. Keduanya berkata, “Wahai baginda raja! Sesungguhnya sekelompok yang masih bau kencur memasuki negeri baginda sebagai orang asing. Mereka telah meningkalkan agama kaum mereka, sekalipun begitu, mereka juga tidak menganut agama bagindabahkan mereka membawa agama baru yang tidak kami ketahui, demikian juga dengan baginda. Kami disini adalah sebagai utusan kepada baginda. Di antara orang yang mengutus kami tersebut ada yang merupakan pemuka kaum mereka, baik itu orang tua, paman-paman serta keluarga besar mereka agar tuan mengembalikan para pendatang ini kepada mereka. Tentunya, mereka lebih banyak memantau tindak tanduk para pendatang tersebut, lebih mengetahui cela mereka, dan telah menegur mereka dalam hal ini.”
Hanya saja sikap Najasyi ternyata tidak semudah itu dalam menerima masukan, dia menginginkan agar semua yang terlibat dalam masalah itu dipertemukan untuk mendengar alasan masing-masing. Lalu dia mengutus seseorang untuk menemui kaum muslimin dan mengundang mereka untuk hadir. Kaum muslimin pun datang dan telah sepakan menunjuk Ja’far bin Abi Thalib radhiyallahu anhu sebagai juru bicara.
Najasyi bertanya kepada kaum Muslimin, “Agama baru apa yang kalian anut, yang menyebabkan kaum kalian terpecah belah, kalian tidak masuk ke dalam agama saya dan juga tidak masuk ke dalam salah satu dari agama yang ada?”
Ja’far bin Abi Thalib radhiyallahu anhu menjawab, “Wahai paduka raja, dulu kami adalah masyarakat yang hidup dalam kejahilan, kami menyembah patung dan memakan bangkai, melakukan perzinahan, memutuskan hubungan silaturrahmi, mengganggu tetangga, yang kuat di antara kami memeras yang lemah kondisi ini terjadi atas kami hingga Allah mengutus kepada kami seorang Rasul yang kami kenal dari nasab keturunannya, kejujurannya, Amanah, dan kesuciannya. Dia mengajak kami untuk menyembah Allah dan tidak mempersekutukan-Nya dengan meninggalkan apa yang telah nenek moyang kami lakukan, seperti menyembah berhala dan batu….”
Najasyi bertanya, “Apakah ada bukti yang dibawanya dari Allah bersama kalian?”
Ja’far radhiyallahu anhu menjawab, “Ya, ada!”
Lalu dia membacakan permulaan surat Maryam, Manakala mendengar lantunan ayat tersebut, sang raja pun menangis hingga air matanya membasahi jenggotnya. Demikian pula dengan para uskupnya hingga air mata mereka membasahi lembaran-lembaran kitab suci yang berada di tangan mereka, kemudian Najasyi berkata kepada mereka, “Sesungguhnya ini dan dan apa yang dibawa Isa adalah bersumber dari satu lentera.”
Lalu kepada utusan Quraisy dia berkata, “Pergilah kalian berdua, demi Allah, sekali-kali tidak akan aku serahkan mereka kepada kalian dan hal itu tidak akan terjadi.” Kemudian kedua utusan tersebut kembali ke Mekkah dengan kecewa disebabkan berakhirnya kegagalan misi dan tipu daya yang telah mereka rencanakan sebelumnya.
Dalam peristiwa hijrah ke Habasyah ini, kita juga dapat memetik sebuah pelajaran bahwa kita diperbolehkan meminta bantuan kepada nonmuslim, jika hal tersebut diperlukan dan tanpa beban kompensasi. hal ini dinukil dari pendapat Syaikhul Islam Ibnul Qayyim rahimahullah.
Penulis: Elghautsa
Rujukan:
- Ar-Rahiqul Makhtum, Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri, cetakan Pustaka Al-Kautsar, Jakarta.
- Sejarah Kehidupan Muhammad shalallahu alaihi wassalam, Imam Adz-Dzahabi, cetakan Pustaka Nuun, Semarang.
- Sirah Nabawiyah, Dr.Said Ramadhan Al-Buthy, cetakan Robbani Press, Jakarta.
- Fikih Sirah Mendulang Hikmah dari Sejarah Kehidupan Rasullah, Prof. Dr. Zaid bin Abdul Karim Az-Zaid, cetakan Darus Sunnah, Jakarta.
- Sirah Nabawiyah, Ibnu Hisyam, cetakan Qisthi Press, Jakarta.
- Nurul Yaqin fi Sirati Sayyidil Mursalin, Muhammad Al-Khudari Bek, cetakan Ummul Qura, Jakarta.
0 Komentar